Terorisme Bukanlah Islam dan Islam Bukanlah Terorisme


Oleh: KH. A. Hasyim Muzadi (Pendiri Pesantren Al-Hikam Malang dan Depok)
Sangkhalifah.co — Sebagian besar ideologi kelompok radikal kontemporer di Indonesia berasal dari kelompok serupa yang berada di luar Indonesia yang mengalami perkembangan secara massif pasca reformasi, tepatnya setelah runtuhnya rezim Orde Baru. Namun, tidak sedikit juga kelompok Islam ini memiliki akar ideologi, langsung maupun tidak dengan gerakan serupa di awal kemerdekaan Indonesia, seperti DI/TII. Ketika rezim Orde Baru berkuasa, kelompok-kelompok ini seakan-akan tiarap menghadapi tindakan represif negara. Ketika pintu keterbukaan dibuka seluas-luasnya pasca reformasi, kelompok ini ikut menumpang gerbong keterbukaan itu sebagai wujud dari respon psikologis yang tertunda terhadap kekuasaan yang otoriter.
Harus diakui dengan jujur, ada sebagian kelompok umat Islam yang melakukan tindakan teror atas nama agama. Aksi teror ini tentu bukannya tanpa alasan pembenar. Seringkali faktor ketidakadilan global terhadap umat Islam menjadi pemicu aksi-aksi terorisme global. Meski aksi-aksi ini mendapatkan perlawanan yang keras dari otoritas keamanan, tetap saja aksi-aksi teror ini terjadi di beberapa negara.
Di negara kita, aksi teror ini belum bisa dikatakan berhenti. Beberapa peristiwa peledakan bom oleh kalangan teroris masih saja terdengar di beberapa tempat. Penggrebekan-penggrebekan aparat kepolisian terhadap pelaku aksi teror pun sering kita saksikan. Sekali pun intensitas penangkapan pelaku teror ini semakin tinggi, para pelaku aksi teror seakan tidak pernah lenyap.
Semua sepakat aksi terorisme harus diberantas, namun untuk melakukan itu, aparat keamanan tidak bisa bertindak sendirian. Diperlukan gerakan nasional terpadu anti terorisme yang berangkat dari kesadaran kolektif. Artinya, cara pengamanan dan represif saja tidak cukup, karena serangan teroris di Indonesia berwatak ideologis.
Baca Juga: Moderasi dalam Perspektif Syariat Islam
Diakui atau tidak, penanganan terorisme selama ini masih mengacu kepada kekuatan yang terfokus pada aparat kepolisian. Sementara masyarakat sipil belum tumbuh 100 persen kesadaran penuh untuk terlibat dan bersama-sama pemerintah dalam menanggulangi aksi-aksi berwatak ideologis. Cara yang digunakan di Indonesia jangan sampai seperti dengan cara yang dilakukan Amerika Serikat pada zaman George W. Bush, pre emptive action (pukul dulu, urusan belakangan). Cara ini ternyata gagal—jika ditinjau dari ragam perspektif. Sebab, cara itu membawa Amerika dalam kemerosotan dan memunculkan terorisme baru.
Untuk diketahui, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tahun 2006 telah mengeluarkan resolusi yang menyebutkan pentingnya peran kelompok masyarakat sipil dalam memberantas terorisme. Namun, implementasi resolusi itu juga masih lemah di Indonesia. penanganan terorisme perlu melibatkan kelompok masyarakat sipil, karena terorisme memiliki banyak bentuk dan manifestasinya bisa dalam berbagai hal. Kelompok masyarakat sipil dapat membantu mengatasi terorisme dari aspek-aspek non-fisik, seperti kontra ideologi dan memperkuat sektor sosial-ekonomi.
Berbagai ormas moderat—seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah—di Indonesia telah memberikan perhatian lebih terhadap masalah terorisme. Dalam berbagai kesempatan, mereka telah aktif mengkampanyekan Islam yang moderat dan anti terorisme, baik dalam forum-forum nasional maupun internasional. Bagi mereka, menguatnya Islam moderatlah yang mampu membendung arus kelompok Islam radikal. Ormas moderat di Indonesia melakukan hal ini karena kesadaran bahwa penanganan terorisme tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tapi juga tanggung jawab masyarakat dan organisasi keagamaan.
Belajar dari pengalaman kegagalan di Amerika Serikat dan melihat tumbuh kembangnya aksi teror (dengan beragam wujud), maka dibutuhkan peran serta organisasi kemasyarakatan seperti NU dan Muhammadiyah serta lintas agama. Terkait ini, para kiai pondok pesantren, tokoh masyarakat dan lintas agama yang tersebar di seluruh Indonesia perlu digerakkan secara serentak.
Baca Juga: Peran Masyarakat dalam Disengangement
Tugas mereka adalah meluruskan pemahaman agama yang salah atau deradikalisasi ideologi (juga kontra narasi; kerja intelektual) kepada masyarakat luas. Bahwa terorisme bukanlah (ajaran) Islam dan Islam bukanlah terorisme. Terorisme ada, karena salah memahami hakikat ajaran agama. Kesalahan pemahaman ini kemudian berkembang menjadi penyalahgunaan agama.
Karena akar terorisme adalah pemahaman ideologi yang salah, maka perhatian aparat tidak boleh hanya tertuju pada bentuk terornya saja. Artinya, penanganan terhadap “isme” atau ideologi juga harus dilakukan. Dan ini adalah dominan tokoh agama, tidak bisa dilakukan oleh polisi. Mereka (aparat keamanan) harus menggandeng tokoh agama.
Dalam aspek undang-undang atau hukum memerlukan kekuatan penuh, agar aparat bisa bergerak di lapangan dengan langkah-langkah yang terukur. Jangan sampai langkah yang dilakukan aparat bertabrakan dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Kemudian, aspek political will. Dalam hal ini, kepala negara perlu tegas mengambil sikap dalam menangani terorisme yang terus mengancam. Hanya kepala negara yang bisa menggerakkan semua elemen bangsa dalam rangka melakukan penanganan terorisme secara terpadu.
Dengan demikian, keterpaduan dan kesadaran kolektif akan menjadi solusi dalam menangkal aksi-aksi teror yang mengatasnamakan agama dan berlindung dibalik ajaran-ajaran agama dengan memahami secara tekstual. Kaum Muslimin harus menghadirkan Islam yang ramah dan anti kekerasan. []
*Tulisan ini diedit oleh Muhammad Makmun Rasyid dengan mengacu pada buku utama Fatwa Tentang Terorisme dan Bom Bunuh Diri karya Dr. Muhammad Tahir Al-Qadri.
[…] Baca Juga: Terorisme Bukanlah Islam dan Islam Bukanlah Terorisme […]
[…] Baca Juga: Terorisme Bukanlah Islam dan Islam Bukanlah Terorisme […]
[…] Baca Juga: Terorisme Bukanlah Islam dan Islam Bukanlah Terorisme […]
[…] Baca Juga: Terorisme Bukanlah Islam dan Islam Bukanlah Terorisme […]
[…] lama menjadi kuda tunggangan untuk kepentingan politik. Tindakan radikal, pemahaman ekstrimisme dan terorisme, adalah kejahatan – apapun dalilnya. Atas nama agama, kejahatan seolah mendapat tempat yang […]
[…] terorisme terus menghangat hingga hari ini. Berawal dari adanya serangan pelaku teror atas gedung World Trade Center (WTC) pada 11 September di Wasington DC, Amerika Serikat, gerakan teror terus berkesinambungan. […]
[…] pasca reformasi. Dalam kaitannya dengan ini, Yusuf Qardhawi mengomentari dengan pedas peristiwa World Trade Center (2001). Ia mengatakan, peristiwa itu sangat merugikan dirinya dan masyarakat muslim Arab, yang […]
[…] pimpinan tertinggi (anggaran rumah tangga pasal 46 hasil muktamar ke-30), KH Sahal menonaktifkan KH Hasyim Muzadi dan KH Solahuddin Wahid sebagai pengurus PBNU karena pencalonannya sebagai wakil […]
[…] sejak 2002, serangan terorisme berskala mematikan menjadi catatan hitam lemahnya nilai kemanusiaan. Aksi teror itu telah meregang ratusan nyawa dan melukai banyak korban. Kasus Bom Bali I (2001), J.W. Marriott […]
[…] dan terorisme di dunia. Dimulai dari peristiwa 9 September 2001 di Washington DC dengan penyerangan World Trade Center, diikuti dengan aksi bom bunuh diri di berbagai tempat, seperti bom Bali I, bom Bali II, hingga […]